Bukufoto: Ruang Bermain karya Sri Sadono


Bagi yang sudah hidup di Jakarta, mungkin satu hal yang diidamkan adalah ketersediaan lahan terbuka, ruang yang aman untuk interaksi publik. Jakarta menawarkan sebuah kehidupan yang kompleks bagi yang baru bergabung dengannya. Saya sendiri baru menginjakkan kaki di Jakarta pada tahun 2007 ketika kerja di salah satu majalah remaja. Saya memang merasa Jakarta sesak, padat, dinamis, cepat, jahat sekaligus baik. Jakarta mempunyai banyak wajah dan karakter, tergantung siapa yang ditempanya. Lihat saja Jakarta dari layar kaca, yang sangat Jakartacentris, wajah Jakarta dipenuhi manusia bermasker, manusia bermobil, manusia beradab sekaligus biadab, manusia politik, manusia penuh semangat, manusia sesat sesaat, dan berbagai wajah lain yang tak akan pernah habis untuk dibahas, diceritakan, divisualkan, dibukukan. Sri Sadono menuangkan pendapatnya melalui sebuah bukufoto yang berjudul RUANG BERMAIN.

Jika membaca judul bukufoto karya Sri Sadono, Ruang Bermain, dengan Monas sebagai background, maka bisa ditebak bahwa bukufoto ini akan mengangkat seputar ruang-ruang bermain anak yang semakin sempit, dan menuju kepada sebuah pemanfaatan ruang yang bukan peruntukan untuk area bermain.

Bermula dari rasa ingin tahu mengapa banyak terjadi tawuran antar pelajar di kota Jakarta, Sri Sadono mencoba menjawabnya secara subjektif melalui bukufoto ini. Lantas dia bernostalgia dengan masa lalunya di sebuah kota nun jauh dari Jakarta untuk kembali mencungkil sepintas realitas di sana dan membandingkannya dengan kondisi di Jakarta. Disini kita bisa menerka bahwa bukufoto ini lahir atas perpaduan pengalaman, kegelisahan, ungkapan, perasaan, dan refleksi kecil namun berdampak besar pada diri Sri Sadono sebagai mantan bocah Klaten. Kekhawatiran lahirnya generasi tanpa akar di kota Jakarta ini mungkin secara subjektif, oleh Sri Sadono, dikarenakan ruang bermain semakin sempit. Lantas dikatakannya "Anak diciptakan bukan untuk DIAM". Jelas sebuah pernyataan yang keluar atas dasar pengalaman dan pengamatan.

Setelah membaca pengantar, anda akan disuguhkan sebuah foto yang berbicara tentang ruang. Namun bukan ruang secara literal, tapi foto kabel listrik yang dililit rangka layang-layang. Sebuah visual yang "berbunyi", seolah terdengar suara layangan yang terbawa oleh angin, apalagi dikaitkan dengan konsep ruang. Mungkin mas Sri Sadono begitu gemes, betapa tidak adilnya Jakarta bagi anak-anak karena langitpun dibatasi oleh kabel listrik. Langit yang seharusnya bersih tapi tidak ada pilihan lagi, kabel bukan halangan bagi anak-anak untuk terus bermain. Atap dunia seakan terjaga untuk mereka, namun kabel menjadi "batas udara" (judul foto pembuka). Untuk konten dari bukufoto ini, sangat jelas menyajikan visual-visual seputar ruang bermain anak khas kota metropolitan. Jalanan, jembatan, stasiun, kuburan, bantaran sungai, bantaran rel kereta, pinggiran sampah, taman. Bukufoto ini ditutup dengan visual anak-anak yang bermain gadget. Sebuah argumentasi visual atas bergesernya ruang bermain anak jaman sekarang. Dinamika kehidupan, ketika beriringan dengan teknologi, maka manusianya pun akan larut dalam teknologi itu sendiri. Dengan adanya teknologi sebagai miniatur ruang bermain anak merupakan tantangan paling besar bagi orang tua jaman sekarang. Saya sebagai seorang ayah tentu sudah memikirkan bagaimana mengimbangi moda bermain anak saya kelak.

Bukufoto ini menarik karena menyajikan realitas kurang diperhatikan oleh pemegang kekuasaan. Bukufoto ini bisa menjadi kritikan pedas terhadap pemerintah yang lalai akan pentingnya ruang bermain anak-anak. Namun setelah berkali-kali saya membuka dan membaca teks yang mengiringi foto, maka semakin saya tidak menemukan benang merah antara pertanyaan awal mas Sri Sadono mengenai perkelahian-pelajar-yang-marak dengan sequencing dari bukufoto ini. Memang subjektifitas sangat mempengaruhi pembuatan sebuah bukufoto. Maka teks terkadang justru membuat alur cerita dalam bukufoto ini  menjadi mendua. Di satu sisi, saya sebagai pembaca menikmati dan bernostalgia dengan foto-foto yang ada, di sisi lain saya mencari relasi antara teks dan visual.

Teks dan visual memiliki wilayah otoritas yang berbeda, namun fungsinya sama, untuk dibaca. Membaca visual jauh lebih lama dan kompleks daripada membaca teks. Menurut Patrizia Di Bello dalam buku The Photobook from Talbot to Ruscha and Beyond, foto merupakan kendaraan utama dalam berekspresi dan berkomunikasi, serta memiliki dialektika dengan tulisan baik yang bersifat konflik maupun yang saling memberi arti (halaman 86). Awalnya saya berasumsi bahwa teks pembuka terkait perkelahian merupakan sebuah konflik dalam bukufoto ini, namun perkelahian pelajar tidak memberikan arti yang berarti dalam bukufoto ini. Saya jauh lebih menikmati buku ini ketika saya tutup halaman awal yang ada judul Generasi Tanpa Akar dan hanya menyisakan paragraf terakhir dari halaman tersebut. Saya menutupnya dengan kertas hvs dan saya lebih puas menikmati relasi antara teks dan visual.

Perpektif dalam bukufoto
Terkadang membaca visual jauh lebih sulit daripada membaca tulisan. Apalagi membaca sebuah bukufoto. Namun salah satu upaya memudahkannya adalah pembaca bukufoto harus mempunyai perspektif tertentu dalam membaca dan mengkritisi sebuah bukufoto. Pada awal menata bukufoto-bukutofo di perpustakaan Panna Institute (sewaktu masih di Kemang Timur), sudah puluhan bukufoto dari German saya lihat sepintas lalu, karena saya benar-benar dalam kondisi nihil, tanpa amunisi untuk mencari arti. Namun berkembangnya literasi saya tentang negara German, maka saya jadi lebih menikmati bukufoto dari German.

Jika saya menggunakan perspektif gender, bisa dirasakan bahwa bukufoto ini dibuat oleh mata seorang laki-laki. Mulai dari foto cover, sampai dengan foto penutup, mayoritas yang menjadi subjek utama adalah anak laki-laki. Kemanakah anak-anak perempuan? Apakah mereka hanya sebagai pelengkap dari anak laki-laki yang bermain? Lantas bolehkah saya bertanya "apakah Ruang Bermain ini diciptakan untuk laki-laki? Untuk didominasi laki-laki?" Penyajian foto memang subjektif, kritik pun bisa lebih subjektif namun dalam kerangka yang masih bisa dipertanyakan. Ketika memulai projek ini, mungkin mas Sri Sadono sangat terpengaruhi oleh nostalgia masa lampau, dimana dahulu anak laki-laki memang bermainnya sama anak laki-laki, walau terkadang bermain dengan anak perempuan, semua tergantung jenis permainannya. Dengan dominasinya anak laki-laki dalam bukufoto ini, terlihat adanya konstruksi realitas yang mengedepankan peran laki-laki dalam struktur sosial masyarakat. Karena sedari kecil anak laki-laki sudah ditempa dengan ruang yang sempit, maka kelak nanti mereka akan menjadi pemimpin yang mempunyai mental baja.

Ahhh, buang semua perasaan dan asumsi-asumsi itu. Yang jelas semua manusia itu sama kok. Itu hanya contoh saja bagaimana membaca sebuah bukufoto dengan menggunakan perspektif tertentu. Anak-anak harus tetap memiliki semangat bermain yang tak boleh surut, walau sudah larut. Salut.


Tangerang Selatan, 26 November 2015
Salam main,

Radityo Widiatmojo

Komentar