Jauh sebelum saya lahir, Susan Sontag dalam bukunya On Photography menyatakan bahwa fotografi membuat manusia seperti "turis realitas". Manusia memotret dengan membabi-buta, gelap mata, apapun di potret seolah tidak ingin kehilangan realitas yang ada dihadapannya. Dipaparkan oleh Susan Sontag pada tahun 1977. Artinya dia menaruh perhatian yang sangat mendalam akan pergeseran fungsi fotografi, yang semula digadang-gadang oleh Henry Fox Talbot sebagai aktualisasi dari imaji yang terlihat melalui lubang obscura. Susan Sontag muda sebenarnya menaruh harapan besar pada fotografi sebagai teknologi yang heroik, karena menurut dia, tidak perlu keluar rumah manusia sudah bisa melihat belahan dunia lain. Namun kemajuan teknologi semakin mengikis fungsi "lugu" dari fotografi itu sendiri.
Dahulu tidak ada ruang maya bernama sosial media, sehingga kenangan indah di alam terbuka saat camping, mendaki gunung atau touring selalu berhenti pada album foto. 9 kali saya ke pulau Sempu (Sendang Biru - Malang Selatan) pun masih saya melihat Sempu seperti pertama kali saya menginjakkan kaki di sana, bersih dan terjaga. Rumah bagi selembar foto adalah album. Hanya dilihat, dinikmati dan dikenang oleh kalangan terbatas.
Sekarang jamannya teknologi informasi, dimana semua orang bisa mengakses informasi dari telepon pintar yang digenggamnya. Sayang seribu sayang, fotografi merupakan salah satu senjata paling ampuh dalam menyebarkan informasi. Portal berita online, website, blog dan sosial media semuanya berbasis visual. Dan fotografi pun mendapatkan rumah baru, yaitu internet. Rumah yang mampu menampung milyaran foto dari semua gadget penghasil foto. Jadi benar sekali prediksi filusuf Michel Foucault tentang budaya visual, dia menyatakan bahwa "kita sebagai manusia telah berubah menjadi kita sebagai pemirsa". Salah apa fotografi sampai Foucault berkata demikian?
Sejak kelahirannya pada tahun 1835, kekuatan fotografi menghasilkan representasi yang sempurna ini telah membuat hidup manusia semakin komplek. Fotografi membuat manusia terobsesi akan representasi manusia yang lebih sempurna daripada aslinya. Manusia terobsesi akan informasi yang bersifat visual dan cepat, maka hanya fotografi yang sanggup memenuhinya.
Namun ketika fotografi sanggup memenuhi semua obsesi manusia, apakah manusia bisa membendung kekuatan fotografi? Untuk itu manusia butuh pengetahuan baru, bernama literasi visual dan literasi media. Dua pengetahuan ini sudah panjang kali lebar di bahas di luar negeri, sehingga apapun yang tampil dalam medium fotografi, masyarakat memiliki bekal untuk melakukan sebuah apreasiasi. Literasi yang sungguh berguna dalam era saturasi imaji dan informasi. Kabur pula batasan pengetahuan dan informasi bila kita tidak membekali diri dengan pengetahuan media literasi dan visual literasi.
Celakanya, fotografi di Indonesia tidak dibarengi oleh tameng pengetahuan visual. Fotografi memiliki efek yang sangat buruk kepada masyarakat yang kurang paham akan kekuatan visual. Fotografi sudah mengakar dan mengubah perilaku manusia Indonesia. Masyarakat yang berubah karena fotografi tidaklah memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk membendungnya. Berdoa sebelum makan, sekarang foto makanan sebelum dimakan, lantas jika sudah tobat berdoa dulu sebelum makan, foto dulu sebelum makan, lalu makan, lalu minta tolong mas waitress untuk memotretkan, jika kurang bagus, mas waitress dipanggil lagi untuk motret dari sudut yang lain, jika goyang masnya disuruh menjepret sampai berkali-kali.
Fotografi telah merasuk kedalam kehidupan manusia Indonesia dan tidak mudah untuk melepaskannya. Bahkan teknologi smartphone sekalipun berlomba-lomba untuk menghadirkan kamera selfie. Kamera DSLR pun tak mau kalah, teknologi LCD putar layaknya bianglala adalah obsesi minor untuk melakukan selfie dengan kamera DSLR. Manusia Indonesia dibombardir dari segala lini untuk menjadi narsis, hiperbolis, melalui teknologi fotografis. Kondisi industri fotografi di Indonesia hanyalah perkara teknis dan remeh temehnya. Edukasi di bidang visual usia dini nyaris tak tersentuh, pertanda perjalanan masih jauh.
Efeknya baru terasa akhir-akhir ini. Banyaknya foto-foto lokasi wisata alam membuat manusia alay berdondong-brondong menuju ke lokasi tanpa arti. Makna kehadiran mereka disana adalah untuk selfie dan terunggah di sosial media, tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan. Mereka generasi mie instan yang ingin eksis. Mereka adalah korban dari sisi gelap sosial media. Kebun Lily bukan yang pertama di rusak, diinjak. Coba tengok beberapa lokasi populer seperti Segoro Anakan (pulau Sempu), Ranu Kumbolo, Banyu Anjlok dan masih banyak lokasi lain yang tidak asri lagi karena kehadiran manusia alay yang membuat sampah sembarangan dan hanya mengerti serta mementingkan satu hal, selfie, wefie. Jika dilirik kebelakang, siapa yang mengajak generasi alay ini ke lokasi wisata? FOTO. Ya fotografi. Miris. Fotografi telah dijadikan tameng oleh mereka. WTF. Mungkin wajib militer sungguh diperlukan generasi sekarang. Ini juga merupakan pelajaran penting bagi orang tua generasi saat ini dan juga generasi yang akan datang untuk mendidik anak-anak remaja agar lebih peka terhadap lingkungannya.
Demi sebuah foto, mereka menginjak bunga yang indah nan elok. Coba tebak, logika apakah yang mereka pakai? Adalah logika eksistensi diri yang dipakai. Sosial media mengubah manusia menjadi homo selficius, "saya narsis di sosmed maka saya ada". Representasi manusia jauh lebih penting daripada manusianya itu sendiri. Visual lebih penting daripada realitas itu sendiri, yang pada akhirnya akan berujung pada logika jempol virtual, apresiasi semu atas representasi manusia. Pecas Ndah-ku.
Saya yakin para penemu fotografi (Louis Daguerre, Talbot, Joseph Niepce) menangis jika mereka tahu seperti ini nasib fotografi di era informasi, ABG ini menghamba pada maha-selfie melalui fotografi. Miris. Sungguh mental fotografis yang tragis.

Komentar