Fotografi Abad 21


Fotografi abad 21, seperti apa ya? Begitulah mbah Ag menamai sebuah grup diskusi di facebook. Pertanyaan "seperti apa ya?" seolah membuat kita melakukan ramalan akan masa depan fotografi. Tentu saja masa depan sangat terkait dengan teknologi dan manusia yang menggunakan teknologi tersebut. Jika terkait dengan manusia dan teknologi fotografi, maka pertanyaan itu bisa diuraikan menjadi "Bagaimanakah masyarakat menggunakan fotografi di masa depan?"

Ada baiknya kita menengok sejarah fotografi terlebih dahulu. Pertama, melalui esai Benjamin Walter, A Short History of Photography. Benjamin menyatakan bahwa fenomena fotografi pada awal kelahirannya sangat mempengaruhi dunia portrait manusia yang sebelumnya dikuasai oleh lukisan. Bagi orang yang di portrait dengan medium fotografi, Benjamin menyatakan bahwa hal tersebut adalah pengalaman misterius yang sangat mengagumkan, karena representasi yang begitu nyata. Namun yang menarik adalah slogan pada saat itu, yaitu "Dont look at the camera". Benjamin menyatakan bahwa saat itu terjadi situasi dimana masyarakat ketakutan oleh sebuah foto portrait yang menatap ke kamera, atau lurus sesuai dengan arah pandangan pemirsanya. Mereka terpesona sekaligus terkejut dengan miniatur manusia yang ada didalam sebuah foto portrait, seolah tatapan mata orang yang di potret sungguh nyata.

Kedua, simak pula tulisan Susan Sontag dalam bukunya On Photography pada tahun 1977. Susan menyatakan bahwa "foto" bisa menjadi lebih mudah diingat daripada gambar gerak karena foto membekukan waktu dengan rapi, tidak menggerakkannya. Sebuah foto merupakan momentum istimewa dengan karakternya yang bisa dilihat berulang lagi kapanpun dimanapun. Seperti foto Eddie Adams yang menghiasi koran-koran tahun 1972, foto tersebut menggambarkan betapa tersiksanya seorang gadis Vietnam yang terkena bom napalm Amerika saat perang Vietnam. Sebuah foto yang menghentakkan dunia mengalahkan ratusan jam tayangan barbarian perang Vietnam di televisi.

Ketiga, hayati pula pernyataan Svarajati pada bukunya yang berjudul Photagogos Gelap Terang Fotografi Indonesia. Dia menyatakan bahwa Industri kamera melahirkan sebuah fenomena baru, yaitu semua orang adalah fotografer. Semua orang dari semua kalangan menenteng kamera, atau setidaknya ponsel berkamera, lantas mereka memotret kesana-kemari, yang pada akhirnya manusia berkamera menjadi pemandangan yang banal, yang biasa. Memotret adalah gaya hidup urban, seakan jika tidak memotret maka eksistensi dan aspek historisitas seseorang akan hilang. Pada titik inilah produk visual berupa foto menjadi banal, banyak diproduksi, cepat terabaikan dan menyebabkan manusia terkepung oleh foto-foto tanpa makna.

Tiga opini tersebut mewakili perkembangan teknologi fotografi di masing-masing era. Perkembangan teknologi fotografi mendorong masyarakat berperan ganda dalam konteks produsen visual serta konsumen visual. Di era fotografi analog dan era sebelum lahirnya sosial media, masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan selain mengkonsumsi apa yang disajikan media mainstream seperti koran dan majalah, serta apa yang masyarakat lihat di poster dan billboard. Dalam era fotografi digital dan sosial media, masyarakat seolah "merdeka jinjit" menghasilkan visual dan memilih visual apa yang cocok untuk mereka serta membagikannya di sosial media. Terjadilah sebuah demokratisasi visual dalam masyarakat modern.

Dengan demikian, fotografi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat baik lahir maupun batin, fotografi menjadi pembeku sejarah kelahiran hingga kematian. Di satu sisi, bayi baru lahir pun beberapa menit kemudian sudah tersiar di sosial media. Di sisi lain, fotografi pula yang menyebabkan banyak pemuda meninggal karena obsesi selfie yang tidak memperhitungkan keselamatan. Sungguh, darah muda dulu tidaklah sama dengan darah muda sekarang, fotografi dulu tidaklah sama dengan fotografi sekarang, apalagi fotografi masa depan.

Bagi saya fotografi ibarat sebuah disiplin ilmu komunikasi. Dalam ilmu komunikasi, berbagai disiplin ilmu masuk didalamnya. Oleh Prof Alwi Dahlan komunikasi disebut sebagai sebuah oase, dimana semua ilmu bisa masuk dan berbaur didalamnya. Fotografi pun demikian. Fotografi hanyalah sebuah medium bagi disiplin ilmu yang lain. Berbagai peneliti, filusuf, pemikir kritis, seniman, menggunakan fotografi sebagai medium untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Saya ambil contoh, Sebastiao Salgado adalah ahli ekonomi yang menggunakan fotografi untuk menyampaikan opininya terkait perekonomian Brazil. Pierre Bourdieu adalah sosiolog, filusuf dan juga antropolog yang memanfaatkan fotografi dalam berbagai penelitiannya di benua Afrika dan Eropa.

Ketika masyarakat kita masih berkutat menggunakan fotografi sebagai gaya hidup untuk berbagi apa yang dia makan, dimana dia berada, sedang melakukan apa di sosial media, ataupun membuat karya fotografi atas dasar keinginan eksis serta apresiasi instan berupa jempol di sosial media, maka akan selalu terjadi saturasi imaji di dalam masyarakat. Maka kekhawatiran Svarajati akan masifnya foto tanpa makna jelas mengundang gundah gulana. Namun di sisi lain, masyarakat yang semakin terasah literasi visualnya akan menggunakan fotografi untuk hal-hal yang positif bagi dirinya maupun komunitasnya. Saya yakin akan selalu ada hal positif dari sebuah perkembangan teknologi fotografi, dan itulah masa depan fotografi Indonesia. Mungkin bukan hanya "fotonya yang seperti apa ya", namun "masyarakatnya yang seperti apa ya" memaknai fotografi di masa mendatang.


Salam mendatang,
Radityo Widiatmojo


Komentar