Pelajaran dan Pengalaman menerbitkan Buku Foto Solitude


Buku adalah sumber ilmu. Setidaknya begitulah era sebelum adanya internet di republik ini. Menerbitkan sebuah buku merupakan angan-angan saya sejak kuliah. Dan saya sangat bersyukur bisa menerbitkan bukufoto ini secara mandiri. Berikut cerita singkat perjalanan saya dalam menerbitkan bukufoto Solitude.

Awalnya (Sydney 2012)
Jika saya ingat-ingat kembali titik awal dari project ini, maka itu berawal dari ucapan Tania yang mengingatkan bahwa jangan memandang fotografi sebagai fotografi. Namun harus menggunakan fotografi sebagai saran komunikasi secara visual, dan yang terpenting adalah bersifat reflektif. Itu artinya memotret tidak memerlukan kaedah-kaedah keindahan yang di"iya"kan oleh orang lain, memotret itu merupakan cerminan perasaan, memotret itu lebih dari memaparkan realitas visual, memotret pada akhirnya adalah ritual yang personal. Baiklah Tania, aku mengikutimu...

Memotret (Sydney 2011-2013)
Pengalaman pertama datang ke negeri tetangga itu ternyata membuat "kemaruk motret". Apapun yang ada di hadapan saya pasti saya jepret, tentunya juga tidak asal jepret. Lalu dengan aktifitas sekolah dan kesibukan kerja, membuat saya lebih bersabar dalam motret, tidak ugal-ugalan seperti pertama kali datang. Beruntung pada saat itu saya mengambil kelas Viscom. Ada satu hal sangat penting ketika berada di kelas viscom. Saya dipaksa untuk "mendefinisikan diri" sendiri, sampai ketemu siapakah saya sebenarnya. Setelah keluar sebuah statement atas definisi diri, maka mulai tampak bahwa foto-foto yang saya hasilkan sungguh berbeda ketika sebelum kelas tersebut.

Managemen File (Sydney 2013)
Efek samping dari sebuah projek jangka panjang adalah jumlah file yang masif. Saya lupa ada berapa tera file foto-foto saya, yang jelas harus saya edit. Edit disini bukan retouching tapi seleksi foto, dimana saya mengikuti alur dari john Stanmeyer: ada folder master (terdiri dari berbagai folder foto-foto harian), A-edit (foto-foto yang terpilih dari folder-folder master), B-edit (seleksi yang lebih ketat dari A-edit), C-edit dst, seperti foto dibawah ini.
Saya dan Tania foto di bawah 2 fotoku yang dipamerkan di Gallery CATC, The Rock.
Dari managemen file inilah lahir dummy saya yang pertama, berjumlah 80 foto yang berasal dari folder F-edit yang sudah di urutkan oleh Tania dan saya sendiri. Hasil dari dummy ini adalah sebuah bukufoto dengan cover kulit berwarna hitam dengan judul "Untitled". Dari dummy inilah saya mendapatkan penghargaan Square Peg Award dari CATC Sydney. Satu bulan setelah itu saya pulang ke Indonesia, for good, tentunya.

Indonesia 2013-2016
Terus terang, sepulang dari Sydney, project ini sedikit demi sedikit terlupakan karena rutinitas saya.
Namun sebisa mungkin saya cicil dari tahun ke tahun. Mulai dari riset tentang bukufoto, belajar sendiri sequencing, mencetak dummy, belajar desain, survei tempat percetakan, pengurusan ISBN, packaging, serta pengiriman semua saya lakukan sendiri. Solo runner, begitulah bukufoto Solitude dihasilkan.

Dummy
Judul bukufoto saya ini awalnya bukan Solitude, tapi Sydneysider. Lalu ganti lagi dengan Alone, lalu ganti tanpa judul, lalu ganti apa lagi. Ketika saya melakukan riset mandiri tentang bukufoto, Horicio Fernandez menyatakan bahwa salah satu aspek kunci dalam bukufoto adalah judul. Maka dummy-dummy saya yang judulnya aneh-aneh itu tadi segera saya singkirkan dan merenungkan judul yang tepat. Ketemulah judul Solitude, yang bisa mewakili seluruh foto yang ada di dalam dummy. Lalu dummy ke-7 lahir dengan judul Solitude pada tahun awal 2015.

Minder
Saya bukanlah fotografer yang memiliki karya luar biasa. Saya merasa ciut ketika banyak sekali bukufoto keren lahir setelah penerbitan bukufoto Passing karya mas Edy Purnomo. Tambah ciut ketika keinginan berdiskusi tentang dummy dengan sebuah klub bukufoto tidak kunjung terlaksana. Ciut lagi ketika penerbit indie juga tidak kunjung memberi kabar. Apa memang dummy bukufoto saya ini tidak layak untuk publik? Bagaimana bisa bukufoto saya yang kecil mungil ini bersanding diantara bukufoto yang dicetak dengan kertas premium oleh percetakan mayor? Sedangkan dummy bukufoto saya hanyalah digital printing. Keinginan mencari sponsor terbentur dengan rutinitas.
Ada rasa minder yang luar biasa, ada rasa takut yang akut, ada rasa sedih yang syahih. Namun demi sebuah mimpi, semua itu harus dibenamkan dan keluarga adalah faktor krusial. Dorongan semangat dari istri dan anak saya, kakak-kakak saya serta orang tua membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Akhirnya saya memberanikan diri dengan menerbitkan bukufoto secara independen.

ISBN
Bisa saya sebut bahwa ISBN ini adalah sebuah titik balik setelah dukungan dari keluarga. Saya berpikir bahwa apapun yang terjadi, bukufoto saya harus tercatat dalam perpustakaan nasional karena target bukufoto saya ini bukan hanya di Indonesia. Berkat bantuan rekan saya, ISBN bisa keluar di bulan Januari 2016. Lalu saya mencetak satu dummy lagi dengan tertera nomer ISBN di cover belakang. Betapa mbrambang kedua bola mata saya ketika melihat sebuah dummy lengkap dengan nomer ISBN. This is it. Sudah waktunya diterbitkan.

Solitude go public

Pertengahan Februari saya mengumumkan pre-oder bukufoto Solitude via facebook. Dengan harga Rp. 100.000,- Free Ongkir, 2 hari publikasi online pesanan sudah mencapai 60% dari total 120 bukufoto. Pemesan buku berasal dari berbagai daerah, mulai Riau, Batam, Jambi, Jakarta, Tangerang, Depok, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Kepanjen, Pandaan, Surabaya, Situbondo, Makasar dan daerah lainnya (maaf saya lupa). Dan alhamdulillah sampai ke negara tetangga, yaitu Australia, di kota Sydney dan Melbourne.

Happy? Tunggu dulu...
Percetakan digital bukanlah sebuah tempat yang ramah bagi bukufoto. Memang benar dummy yang dibuat oleh sang percetakan (Buring Depok) bagus dengan warna yang pekat, gradasi shadow yang oke, binding oke, pokoknya solid-lah. Satu hal, roller mesin Indigo 5600 memiliki karakter yang sak karepe udele, setiap hari memiliki tingkat kepekatan warna yang berbeda. Belum lagi operator yang juda terkadang main auto pilot aja.
Berbagai cobaan saya hadapi. ada 70 buku yang salah setting, meleset 5mm perhalaman kiri dan kanan, sehingga foto yang kiri turun 5mm, yang kanan naik 5mm, sedangkan foto yang doublespread jadi terpisah. Manager saya panggil, saya marah dengan cara yang ekslusif sehingga dia minta maaf lalu bersedia mengganti semua buku.
Selang beberapa hari kemudian, saya di telpon untuk mengambil bukufoto ke Depok. Dengan teliti saya lihat bukufoto saya, saya bau, saya bolak balik, saya lihat detail warna. Dan sang manager ada di depan saya, berdoa agar tidak ada kesalahan lagi. Saya menghela nafas panjangggggg, manager pun lemas. "coba lihat bukufoto yang sebelah sini pak, ada 17 buku yang tidak layak. Mohon dengan bijak supervisinya pak, ini buku akan dikirim ke ostrali pakkkkk. Modyar pak jika hasil cetakan jelek seperti ini mendarat di kota Sydney.." Lalu sang manager melihat satu per satu dan bilang, "ini tentang fotografi ya.. iya memang ini ada beberapa halaman yang tergores mesin press. Ini belum kering sudah di press sama anak-anak. Ini kesalahan kami mas, maaf mas, akan kami ganti..." Seiring dengan kemarahan saya, nampaknya cuaca juga sedang marah, hujan deras sehingga saya teles kebes sewaktu pulang karena jas hujan bocor.
2 hari berselang, saya di telpon untuk mengambil 17 sisa bukufoto yang cacat. Ada bad feeling sepanjang perjalanan. Benar memang, lagi-lagi saya harus menghela nafas panjangggggg dan kali ini managernya memegang kepalanya, batinnya "modyar apalagi ini.." Ada 6 buku yang tidak layak karena masalah minor tapi krusial, yaitu foto opening yang ada bayangan anjing itu mbuyek, burem, alias tidak solid warnanya. Pada akhirnya, 6 buku tadi diberikan secara gratis dan sebagai peredam amarah, saya diberi cashback seharga 6 buku. Kembali cuaca sedikit gemuruh dan menghasilkan gerimis tipis untuk mendinginkan wajahku yang sedikit bengis di sore itu.
Ahhhhhhh, cari tempat lain saja untuk mencetak 6 buku, dan ternyata hasilnya jauh lebih jelek. Hahahahaaa, cobaan cobaan. Kesimpulan saya, 6 buku ini saya keep saja sehingga saya bakal kehilangan 6 pembeli, ya sudahlah. Aku rapopo.

Packaging
Salah satu tahap yang paling mendebarkan adalah pengiriman. Saya selalu khawatir terjadi apa-apa dengan bukufoto saya, maka dari itu saya membuat triplek persegi ukuran 17cm x 17 cm sebagai alas dari bukufoto (biar triplek tidak jelek-jelek amat, maka saya plitur, saya amplas dan saya lubangi semua triplek agar terlihat klasik). Dengan dibalut dengan benang putih, packaging bukufoto Solitude terlihat klasik dan yang terpenting aman. Dengan bubblewrap yang lumayan tebal, satu per satu bukufoto dibungkus dengan penuh sukacita dan rapi oleh saya dan istri saya. Untuk pengiriman saya putuskan untuk menggunakan jasa Kantos Pos di BSD.
Lagi mlitur triplek ditemani Nanda (foto: Revanti Rosnandasari)


Happy
Dari semua kekesalan saya sewaktu proses produksi, respon pembeli merupakan hadiah terindah dan benar-benar membuat saya bahagia. Saya menerima berbagai respon positif, mulai dari kualitas cetakan, konten, alur cerita, susunan foto, packaging, dan yang paling favorit adalah "Covernya seperti lukisan..."

Selanjutnya apa?
Untuk selanjutnya saya bakal konsentrasi pada pekerjaan dan mengerjakan tesis dulu, sembari membuat bukufoto yang kedua mungkin. Semoga.


Solitude,
Radityo Widiatmojo


Update
Pertanyaan-pertanyaan setelah bukufoto Solitude ada ditangan pembeli
Tanya: Mengapa ukurannya kecil dengan kertas bookpaper?
jawab: Saya terinspirasi oleh bukufoto favorit saya, Passing, karya Edy Purnomo dan bukufoto INTIP, karya mas Roy Rubianto. Dua-duanya memiliki bentuk fisik yang hampir sama. Alasan pertama adalah karena faktor ekonomis, semakin kecil ukuran buku semakin sedikit pula menghabiskan kertas. Tidak boros dalam pengeluaran :) dan yang paling penting adalah Handy, mudah dibawa kemana-mana.
Untuk pemilihan kertas sebenarnya saya ingin kertas fancy Mohawk Loop Inkwell Super Smooth, selidik punya selidik harga kertas tersebut mahal. Saya ingin kesan "lawas" hadir di bukufoto saya. Kertas novel adalah alternatif terbaik, kebetulan semua digital printing sekarang mempunyai bookpaper dengan guratan tekstur yang unik jika ditimpa tinta warna. COCOK.
Selain itu jenis kertas ini mengakomodir "asas keadilan" setiap foto di setiap halaman, karena dalam bukufoto ini saya menggunakan 4 kamera yang berbeda. Foto saya harus berada di rumah yang nyaman untuk para penghuninya, dengan kertas bookpaper, semua foto saya seolah bisa saling silaturahmi antar halaman dan tidak ada rasa iri diantara mereka.

Tanya: motretnya pake kamera apa mas?
Jawab: semua menggunakan kamera pinjaman :) , 7D saya pinjam studio saya, kamera poket Sony W320 saya pinjam punya keponakan saya, poket canon S90 saya pinjam dari kakak saya, kamera mewah Leica M9 saya pinjam dari teman sekamar saya. Ehhh satu lagi, poket fuji xf1 adalah satu-satunya kamera yang saya punya (sekarang sudah alm).

Tanya: boleh tahu harga cetaknya berapa? Dapat untung berapa sih mas?
Jawab: Satu hal, tidak perlu menanyakan soal keuntungan. Penerbitan bukufoto independen saya ini tidak berorientasi pada materi, namun kepuasan diri untuk bisa bercengkrama dengan publik yang unik (terbatas). Untuk satuan harga cetaknya mencapai Rp. 103.000,- Kalau cetak banyak akan mendapat potongan.

Tanya: cetaknya dimana mas?
Jawab: di digital printing Buring Depok.


Komentar