Kerukunan antar Genre Fotografi



Video yang saya unggah di sebuah komunitas fotografi online 

Di negeri ini, fotografi mungkin telah menemukan bentuk demokrasinya. Dimulai dari kemudahan akses, kepemilikan kamera, adanya komunitas online dan offline, institusi pendidikan fotografi resmi serta inisiasi pribadi, forum diskusi, sampai pada fotografi sebagai roda perekonomian. Di negeri ini, kita bebas memilih jenis fotografi yang kita suka atau lebih keren disebut genre fotografi. Entah siapa yang memulai pembagian genre, namun yang jelas fotografi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu landscape, makro, human interest, model, jurnalistik, street, fine art, dan masih banyak lagi. Ini pembagian secara umum saja.

Budaya kolektifis yang menjadi ciri khas masyarakat kita ini membuat tiap genre memiliki kelompok atau komunitas tersendiri. Setiap genre dan komunitasnya membuat berbagai acara, diskusi bahkan sampai dengan pameran foto untuk publik. Sungguh sangat positif. Setiap genre dan komunitas juga memiliki ideologi dan pemikiran masing-masing, yang kadang tidak bisa menerima kritik dari kalangan out group mereka. Pada titik ini, bisa jadi sebuah komunitas pada akhirnya bersikap arogan terhadap komunitas lain. Mungkin kejadian beberapa tahun yang lalu di sebuah kota di Jawa Timur bisa menjadi contoh, yaitu ketika terjadi diskusi antara komunitas street dan komunitas model. Debat tidak ada ujungnya karena ada yang beranggapan bahwa motret model di jalan bisa dikatakan masuk jenis street fotografi. Dan hampir berakhir dengan adu fisik (menurut informasi dari teman saya, karena saya sendiri pas tidak di lokasi pada waktu itu). Itu adalah contoh bagaimana kolektifitas hanya terjadi secara internal di sebuah komunitas, tidak pada dunia fotografi pada umumnya.

Kolektifitas internal bisa juga menggiring kepada tertutupnya sebuah komunitas akan sebuah kritik atau opini. Beberapa waktu lalu saya melemparkan sebuah trigger berupa video youtube di salah satu group facebook (komunitas fotografi online terbesar di Indonesia),  yang isinya berupa himbauan "stop hunting model" karena hunting model merupakan bentuk objektivasi tubuh perempuan. Reaksi dari video tersebut sangat beragam, ada yang geram, ada setuju, ada yang tersentil, ada yang menyerang balik, ada yang defensif, ada yang raja ngotot, ada yang merasa paling pintar. Secara garis besar pendapat mereka adalah "Setuju", "Netral" dan "Sangat Tidak Setuju". Bagi mereka yang tidak setuju, secara kolektif mereka langsung "menyerang" saya dengan komentar-komentar yang bersifat tidak-perlu-dibalas. Dan saya langsung di kick dari komunitas tersebut, bahkan di blok sehingga tidak bisa lagi mengikuti timeline komunitas tersebut. Tidak apa-apa, karena masih banyak komunitas lain yang memberikan diskusi yang lebih adil.

Yang saya sayangkan adalah ketika saya melakukan kritik terhadap sebuah genre, katakanlah genre foto model, maka secara komunal orang-orang yang berkecimpung dan hobinya motret model langsung bereaksi dan bersatu untuk tidak setuju dengan saya. Bahkan akun facebook saya di screen capture lah, di jelek-jelekkan lah, jadi bahan tertawaan komunitas tersebut. Saya merasa tidak ada lagi kerukunan antar genre fotografi dan komunitas. Padahal saya sendiri bersifat independen, tidak berdiri atas nama sebuah genre fotografi. Saya berdiri atas nama moralitas, yang bagi komunitas tersebut moralitas tidak perlu diingatkan, tidak perlu dibahas, tidak perlu dimunculkan, tidak perlu di diskusikan. Saya sebagai manusia juga ada salahnya, karena video tersebut cenderung menggiring opini, cenderung satu sisi, terlalu mengeneralisir. Memang iya. Itu justru trigger yang saya buat agar terjadi sebuah diskusi menarik dan membangun, bukannya mendepak bahkan membuang dengan entengnya. Itu yang membuat saya malas membalas komentar mereka. Mungkin juga saya tidak siap menerima gempuran masal sebuah ketidak-setujuan sebuah genre, karena saya hanya berdiri sendiri, iya sendiri. Tapi setidaknya dari sini saya belajar satu hal penting, yaitu tidak semua kasus bisa digeneralisasikan ke dalam sebuah hipotesa.

Tetap rukun,
Terus maju fotografi Indonesia

Radityo Widiatmojo

Komentar