Perbincangan Fotografi: Teknis - Estetis saja?

 "Fotografi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, namun di Indonesia perbincangan fotografi lebih menyangkut hal-hal teknis dan estetis" ~Franz Magnis-Suseno~

Begitulah tulisan mas Ardiles di status FB-nya yang di like lebih dari 100 akun. Dua hal penting dalam quote tersebut, teknis dan estetis. Dua hal tersebut melekat di perilaku masyarakat fotografi Indonesia. Jika ingin bukti, silahkan telusuri group-group fotografi yang ada di facebook yang memiliki member ratusan ribu orang, seperti KFI. Walau tidak bisa menjadi tolok ukur, namun sudah cukup untuk memberi gambaran terkait perbincangan teknis dan estetis.


Lantas bagaimana sebenarnya berbincang fotografi itu? Bukankah perihal teknis dan estetika merupakan penampakan fisik dari sebuah foto? Bukankah indah jika masyarakat berbagi foto yang indah? Bukankah baik hati jika masyarakat berbagi foto yang menyayat hati, yang biasa sering disebut human interest itu? Bukankah berguna berbagi trik motret agar fotografer awam tidak senggara akan ilmu yang akan ditimba? Bukankah fotografi sudah menjadi bagian dari demokrasi di negeri ini? Bukankah kebebasan berfotografi juga mencerminkan kebebasan berkarya seni? Bukankah fotografi menandakan bahwa masyarakat Indonesia telah berubah menjadi masyarakat modern?

Perbicangan fotografi itu bisa saja luas, bisa saja sempit, bisa saja diam ditempat, bisa ini bisa itu kok. Namun ada beberapa hal terjadi ketika perbincangan fotografi hanya menyangkut teknis dan estetis,yaitu:

  1. Orientasi pada hasil.
  2. Mengikuti tren fotografi.
  3. Euforia fotografi untuk publik. 

Sedangkan perbincangan yang akan terlewatkan adalah perbincangan tentang:

  1. Etika, norma, kesadaran palsu, kekerasan simbolik, representasi dan hal-hal yang tidak nampak lainnya.
  2. Karya-karya yang bersifat personal.
  3. Fotografi sebagai oase bagi berbagai bidang keilmuan, seperti komunikasi, antropologi, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan ilmu lainnya.
Perlukah perbincangan fotografi selain teknis dan estetis? Ketika kehidupan ini sudah dikelilingi oleh sajian visual dan masyarakat mengkonsumsinya setiap hari, maka perbincangan terkait non teknis dan non estetis menjadi relevan untuk menambah literasi visual masyarakat Indonesia di era saturaji imaji ini. Seharusnya para produsen kamera-lah yang seharusnya mendukung secara utuh perbincangan non teknis dan estetis, karena merekalah yang paling dekat dengan masyarakat dan memiliki sumber dana yang besar.

Namun bagi industri fotografi (pabrik/produsen/merk kamera), perbincangan non teknis dan non estetis tidak akan menarik perhatian mereka. Perbincangan non teknis dan non estetis tidak ada nilai ekonomis. Terbukti selama bertahun-tahun moda CSR mereka adalah edukasi yang mengarah kepada teknis dan estetis. Hunting model adalah contoh yang pas. Output dari hunting model nyaris tidak akan ada perbincangan tentang representasi, identitas, kesadaran palsu, kekerasan simbolik karena perbincangan tersebut ada di ranah akademis, bukan ranah publik. Yang ada hanyalah perbincangan terkait teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis,teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis, teknis,teknis, teknis, teknis, teknis. Lantas jika foto modelnya mengarah kepada erotis, lalu diagungkan dengan dalih estetis, sungguh alibi yang manis. Anyway, coba deh anda bikin acara hunting model dengan model yang cantik dan menawan, pasti pesertanya seabrek.

Pun demikian dengan moda edukasi workshop. Selalu yang diadakan adalah workshop yang mempunyai nilai jual dan laku dijual. Workshop creative lighting contohnya. Saya sudah mengikuti workshop jenis ini mulai jamannya pemateri Darwis Traidi (2002), dari kota Malang, Surabaya, Yogya, Denpasar, Jakarta juga sudah pernah saya ikuti. Perbincangan pun tetap pada aspek teknis dan estetis. Namun karena kurangnya alternatif lain (dari tahun ke tahun, dari kota ke kota), secara masal moda edukasi fotografi yang di support oleh industri fotografi ya tetap aja berkutat di ranah teknis dan estetis. Ya wong luwih payu kok, njur piye jal.

Dalam contoh diatas, determinasi ekonomi menjadi dasar mengapa perbincangan teknis dan estetis menjadi ujung tombak di negeri ini. Namun demikian, semakin hari semakin banyak fotografer senior  dan komunitas di Indonesia yang mempunyai kepedulian untuk memperbincangkan hal-hal diluar teknis dan estetis tanpa harus berdasarkan atas determinasi ekonomi, seperti Kelas Pagi (Jakarta dan Yogyakarta), Kami Punya Cerita di Bandung, Air Foto Network Bandung, Sekolah Malam Yogyakarta, Sunday School Malang, Matanesia Surabaya dan masih banyak komunitas lainnya.

Masih ada kok sinyal positif akan perbincangan fotografi di Indonesia ini. Yang menjadi catatan adalah keteguhan masing-masing fotografer akan bagaimana melakukan edukasi yang baik terhadap lingkungan terdekatnya serta niatan baik untuk mewujudkan literasi visual Indonesia menjadi lebih baik.

Salam bincang-bincang aja,
Radityo Widiatmojo

Komentar