Bukufoto FLOCK: Menggerakkan yang tak tergerak


Jika anda pernah membaca buku anak-anak berjudul Boys on Safari karya Roger Priddy, maka anda pasti sudah familiar dengan box kreatifnya. Sebuah box yang berisi 5 cerita anak yang bersifat personal. Tokoh utama dalam buku tersebut adalah Gabe. Petualangan Gabe tidak diceritakan muluk-muluk, namun kejadian sehari-hari yang "ternyata" sungguh menarik jika di ceritakan secara visual. Buku tersebut merupakan buku favorit anak saya yang masih berusia 2 tahun. Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah paket yang mirip dengan buku tadi, yaitu FLOCK Volume 1.

Ini sebuah paket yang sudah lama saya nantikan karena pengkaryanya adalah manusia-manusia kreatif yang sangat berperan penting dalam perkembangan fotografi Indonesia. Saya sempat membaca review yang nongol di linimasa facebook, namun lebih lega jika menyentuh dan membacanya secara langsung. Unbox pun saya lakukan secara hati-hati. Dalamnya berisi kartu pos, poster, 1 buah pengantar dan esai, 3 bukufoto berukuran seperti A5. Yang menarik perhatian saya adalah pemilihan jenis kertas. Saya suka jenis kertas yang seperti ini (maaf tidak bisa menuliskan deskripsi kertasnya), yang jelas teksturenya kasar, warnanya krem dan tidak mengkilap.


Saya tidak langsung membaca essai dan pengantar, namun saya lebih memilih untuk membuka salah satu bukufoto, judulnya They Came For The Flower karya Aji Susanto Anom. "Mesti lho mas Aji fotone koyok ngene, ga ngerti aku..." celetuk istri saya ketika melihat bukufoto ini. "Opo sih iku yah?" Lantas saya jawab "iku ngono manuk.." Lalu istri saya bilang "ooooo iso yo tibae bukune tentang manuk... maklum Yah, aku kan sik ga iso baca bukufoto.." Kami berbincang sambil membuka satu persatu manuk-manuk hitam putih ini. Perbincangan singkat tadi membawaku pada sebuah penilaian. Ini cerita sebenarnya selesai hanya dengan sebuah foto saja, foto yang ada di halaman tengah. Manuk telah menggerakkan imajinasiku untuk mencari tahu lebih dalam, karena menurutku bukufoto ini bisa bercerita lain ketika dibaca mbesok-mbesok atau mben-mben. Ehhh ternyata benar, rasa penasaran saya timbul setelah membaca lagi bukufoto ini. Ada semacam semangat kolektif dari manuk-manuk ini pada malam hari. Saya melihat buah perjalanan, atau istilah NG-nya migrasi hewan, yang unik karena bukan lagi pohon tempak para manuk ini berkumpul, namun cagak ting (tiang listrik). Apakah manuk-manuk ini juga menikmati hasil pembangunan di kota? Atau manuk-manuk ini sedang rekreasi ke kota, karena di desa tempat tinggal tidak ada cagak ting? Saya mungkin tidak bisa bicara pada manuk, Aji lah yang bicara melalui foto-fotonya. Bukufoto ini sekaligus sentilan bagi pecinta fotografi burung. Bahwasanya untuk memotret burung diperlukan lensa bazoka super zoom, tele conventer, pakaian kamuflase, berendam dalam sungai, pergi ke hutan, pergi ke savana, semuanya untuk mendapatkan foto detail burung yang cantik. Itu memang dilakukan fotografer NG. Namun Aji ya Aji, dengan gaya khas kontras hitam putim macam Trent Parke sudah bisa membuat Aji terbang tinggi seperti manuk-manuk dalam bukufoto ini. Sebuah pergerakan cerdas dari Aji.



Lanjut ke bukufoto berikutnya, saya membuka satu-satunya bukufoto yang covernya warna. Judulnya Effusion dengan random teks yang opacity-nya dikurangi 50% bertindak sebagai latar. Ini karya Arif Furqon. "Apa sih Yah Effusion itu?" tanya istri saya. "Aku dewe yo ga ngerti, tapi kiro-kiro yo koyok ngalir ngono lho..." saya jawab sekenanya. Dengan foto pembuka suasana laut, dengan percikan air yang membentur batu menciptakan ombak dengan suara "byor-cezzzzzz". Foto pembuka ini menggerakkan memori saya akan saat-saat kesendirian di negeri kanguru. Suara alamlah yang menjadi temanku pada saat itu. Halaman berikutnya disuguhkan potret sebuah kota. Lagi-lagi saya teringat saat-saat libur dari kerjaan setrika, saya selalu berada di balkon lantai 6 untuk melihat suasana kota, sebuah kota yang selalu ingin kembali ke sana. Nampaknya 2 foto saya sudah bisa menggerakkan ingatanku yang sudah kaku. Halaman-halaman berikutnya saya melihat bukufoto ini adalah sebuah puzzle, sebuah permainan yang digambarkan dengan tata letak foto-fotonya. Saya merasa pernah berada di persimpangan teka-teki seperti ini. Tata letak inilah yang mengingatkanku akan bukufoto saya sendiri, Solitude. Ada sebuah unsur yang hampir sama, kesendirian yang tidak sendiri. Ketika saya melihat hal tersebut ter-refleksi dalam manusia-manusia di jalanan, tapi dalam Effusion ini terpendam dalam sebuah jejak, jejak pengkarya, jejak visual Arif. Akhir dari bukufoto ini, saya kembali digerakkan kepada sebuah bukufoto lainnya, Illusion-nya mbak Swan Ti. Banyak pergerakan setelah membaca bukufoto ini.



Lantas saya bergegas membuka bukufoto karya Wid yang covernya membuat saya penasaran, itu bunga atau batu atau tanah kah gerangan? Karya ini dibuka dengan sebuah foto tanaman dan dua kalimat. Kata "pergi" dan "tanaman" segera mendapat perhatian saya. Begitu membuka halaman berikutnya, nahhh kan benar, bakalan ada "drama" nih karena judulnya SURAT UNTUK BAPAK. Belum apa-apa sudah kangen Bapak saya yang ada di Malang. Kuat dugaan saya bahwa foto ini adalah tentang kenangan Wid tentang Bapaknya. Foto-foto tanaman merupakan jejak dari sang Bapak yang telah berpulang kepada Sang Pencipta. Orang tua saya juga menyukai tanaman, suka siram-siram. Dan inilah yang menggerakkan hati saya untuk kembali bersyukur bahwa saya masih memiliki orang tua. Yang cukup menyentuh adalah surat yang di tulis Wid di dalam bukufoto ini beserta foto dokumentasi Alharhum bersama Wid sewaktu kecil. "Apik ya Yah buku ini..." ujar istri saya. Saya mengangguk tanda meng-iya-kan. Satu hal yang membuat saya kagum dengan karya ini adalah penutup dari bukufoto ini. Selembar foto Alharhum Bapaknya Wid sedang menyiram tanaman di sebuah sore yang sangat hangat, sangat dekat, sangat personal secara visual lalu kehangatan itu hilang ketika membuka halaman terakhir. Hanya gelap yang ada. Dalam hati kecil saya, inikah rasanya ditinggal oleh orang tua yang telah membesarkan kita seumur hidupnya dengan sekuat tenaga? Saya masih belum bisa membayangkan jika saya berada dalam posisi Wid. Bukufoto ini, ehmmmm sungguh membuatku kangen Bapak saya. Ingin rasanya segera pulang ke Malang dan memeluk Bapak.

Salut.

Fotografi Indonesia nampaknya tidak akan bergerak kemana-mana selama kita masih berkutat pada tataran teknis dan hasrat narsistik dalam sosial media. Tiga cerita personal yang berhasil menggerakkan saya dalam berbagai hal. Inilah kekuatan sederhana fotografi yang sangat jarang saya temui di era fotografi digital. Aji, Wid, Furqon, telah menghadirkan cerita personal yang dikemas dalam sebuah bukufoto beserta box yang kreatif. Seperti Roger Priddy dalam buku cerita Boys on Safari yang menceritakan keseharian Gabe. Bukufoto FLOCK ini menggambarkan dan membuktikan bahwa tools untuk membangun sebuah narasi bukanlah sebuah lokasi yang indah, bukanlah sosok perempuan seksi, bukanlah festival budaya, bukanlah peristiwa bencana, bukanlah hari raya sebuah agama, bukanlah pula tetangga, namun DIRI SENDIRI. Membangun cerita berdasarkan pengalaman personal sejatinya adalah penawar bagi manusia untuk berbagi esensi kehidupan secara visual.  Saat ini sangat jarang saya menemukan sebuah karya fotografi yang mampu berdiri atas konstruksi "self", selalu saja berkarya untuk memuaskan kepentingan orang lain atau setidaknya untuk mendapatkan like di sosial media. FLOCK jelas menawarkan angin segar di tengah saturasi visual yang membuat saya sedikit jengah.

Yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana ide kreatif dalam FLOCK Vol. 1 ini muncul dan direalisasikan. Saya berharap, para pengkarya sudi kiranya untuk menuliskannya dalam sebuah blog yang bisa di akses oleh masyarakat yang tidak sempat menyentuh secara langsung karya unik ini. Penting, karena berbagi gerakan positif inilah yang sebenarnya sangat amat perlu di sebarkan. Gerakan? Iya GERAKAN, karena Flock memiliki peluang untuk menggerakkan yang tak tergerak.

Salam gerak,
Radityo Widiatmojo

Komentar