Bukufoto Deja vu: kebetulan yang aneh


"Selamat Datang di Kampus Perjuangan", begitulah kata-kata yang tertulis di sebuah plank yang sudah tidak begitu terawat, terlihat berkarat-namun kuat, di parkiran UI Salemba. Tanpa sadar saya mengeluarkan HP lalu memotretnya dengan HP. Saya pun berteduh dan melihat hasil foto di HP. Dari layar mungil HP itu, saya terpaku pada kata "selamat datang". Beberapa detik, pikiran saya tidak di Salemba, namun di Lakemba-Sydney (beserta suasananya), karena Saya ingat betul pernah memotret kata "SELAMAT DATANG" di sebuah plank tahun 2011 silam. Ada apa ini? Mengapa saya terbawa kenangan bertahun-tahun yang lalu?

Tulisan "Selamat Datang" adalah visual stimuli, yang mampu merangsang saya untuk kembali ke masa lalu, dengan mengatakan seolah-olah saya pernah melihat "visual" seperti ini. Menurut Peter Krapp dalam bukunya Dejavu Aberration of Cultural Memory (halaman 98), perasaan kembali ke masa lalu itu sebenarnya hanya persepsi tentang "sesuatu" hadir sebagai "sesuatu yang lampau" atau sebaliknya. Bagi saya, itu bukan hanya sebagai persepsi, namun juga sebagai reaksi atas visual yang saya lihat. Inilah yang oleh beberapa ahli psikologi disebut sebagai deja vu. Bahkan deja vu disebut sebagai gangguan persepsi visual oleh  Linszen dan Herman dalam The American Journal of Psychiatry tahun 1990. Bagi saya itu bukan juga gangguan visual, namun melibatkan aspek emosional.

Saya tidak akan membahas pengalaman deja vu dari kacamata psikologi.

/

Pengalaman melihat 'sesuatu yang lampau' dalam 'sesuatu saat ini' pada akhirnya saya bukukan. Sedari tahun 2011 sampai 2016, saya telah mendokumentasikan secara visual berbagai momentum deja vu. Ahhh apa bisa? Mungkin saya mengada-ada. Tidak, saya justru berusaha meng-ada. Saya melihat diri saya sendiri di dalam foto bayangan istri saya (deja vu halaman 32). Saya mengingat suasana pertokoan Circular Quay saat memotret visual bayangan di pertokoan samping Matos. Dengan teknik dyptich, saya sandingkan dua momentum yang hampir sama tersebut. Saya rangkum dalam sebuah bukufoto. Mengada-ada? Tidak. Foto yang saya hasilkan di Indonesia hanyalah single frame dari HP. Tidak ada niatan untuk membuat foto-foto re-make dari semua momen yang pernah saya foto di masa lalu. Bisa saya katakan, bukufoto ini adalah kebetulan yang aneh. Oleh karena itu saya butuh berbagai tanggapan mengenai hal ini.

Banyak respon yang muncul ketika projek ini saya paparkan secara personal ke rekan-rekan fotografi. Ada yang tidak tertarik, biasa saja, ada pula yang antusias. Terlihat biasa saja, karena projek ini memang untuk konsumsi personal. Aspek ingatan emosional saya lebih kental di bukufoto ini, yang tidak bisa orang lain pahami, jika tidak kenal dekat dengan saya. Tidak tertarik dengan projek ini karena memang tidak mengandung visual yang pictorial, indah, atau dipenuhi posisi juxta. Nahhh, rekan yang antusias ini melihat projek ini dari sudut pandang non fotografi. Di sini terjadi diskusi menarik mengenai fungsi fotografi di era digital. Singkat cerita, inti dari diskusi kami adalah era digital memerlukan bentukan-bentukan (fungsi) baru dari medium lama (seperti fotografi) serta pentingnya literasi visual dalam era teknologi komunikasi.


Ketika saya menggunakan fotografi sebagai sarana untuk refleksi, bukufoto adalah salah satu wujudnya. Terima kasih telah membeli bukufoto saya yang kedua ini. Semoga anda juga menemukan performa baru dari fotografi yang berguna untuk diri anda sendiri dan keluarga.

Karlos, 15 Agustus 2017
salam vu

R

Komentar