Catatan dari Local Artist: menikmati karya foto ala misbar

Keterbatasan ruang untuk mempromosikan karya tidak membuat semangat rekan-rekan Walkingalam kendor. Justru karena itulah lahir kolaborasi menarik, dengan menampilkan karya foto di ruang publik dan pilihan tempat jatuh di Kampung Warna Warni Jodipan, apik, epik. Di bawah sinar bulan purnama, ada 10 karya versi multimedia yang diputar, mirip layar tancep misbar. Ada beberapa catatan penting dalam acara ini:

1/
"Om, om, iku sing moto sampeyan ta (paman, paman, itu yang motret paman ya) ?" tanya anak kecil warga Jodipan. "iyo le..." lalu dia bertanya lagi sambil melihat karya saya, "Om, iku ndek endi sih? (Paman, itu dimana sih)". Saya jawab, "Sydney". Dengan cepat dia merespon, "mben aku tak mrono gak popo yo om (suatu hari saya ke sana tidak apa-apa ya paman)? "Kudu, budalo dolan sing adoh" saya jawab dengan nada optimis. Obrolan singkat ini adalah salah satu bentuk respon warga lokal terhadap karya yang ditampilkan. Mereka masih anak-anak namun berani untuk penasaran dengan celetukan yang jenaka ketika melihat visual yang agak aneh. Saya duduk disamping anak-anak sambil menikmati slideshow. Saya pun menikmati candaan jenaka dengan anak-anak warga Jodipan yang turut nonton, kadang ya tak "piting" anak kecil sebelahku karena dia lucu. Suasana lebih akrab karena membaur dengan warga lokal.

2/
"mas, iki maksude opo?" tanya seorang teman kepadaku. "Aku dewe yo ga eroh, nikmati ae koyok nontok filem" saya jawab sekenanya. Pertanyaan tadi muncul karena teks pembuka kurang bisa terbaca oleh pemirsa di bagian belakang. Rata-rata teks dalam slideshow ditampilkan dengan font yang terlalu kecil dan waktunya singkat, tidak ada 10 detik untuk membaca secara utuh. Namun itu justru menjadi tantangan bagi pemirsa untuk memberikan multi tafsir atas karya yang sedang di slideshow. Untung panitia dengan sigap memutar ulang ke-10 karya. Baru temanku agak sedikit mengerti, setidaknya berusaha mengerti dengan mantuk-mantuk manggut-manggut.

3/
"iki kok koyok seminar" gerutu seorang penonton di dekat saya. Saya bisa memaklumi ucapan tersebut, karena posisi saya dan dia adalah sama-sama orang yang ingin menonton foto, layaknya film-film mibar. Slideshow pertama, memiliki nuansa kelam, foto BW dengan musik yang kelam pula. Berikutnya adalah karya saya, tampil warna-warni dengan musik seruling. Karya Aji yang menampilkan manuk mistis, lanjut dengan karya mas Bowo dengan musik cina yang mengingatkan saya dengan film vampir di RCTI jaman SD dulu. Nah ketika semangat menonton tersebut berada di puncaknya, tiba-tiba pemutaran slideshow berhenti karena salah satu pengkarya melakukan presentasi karya di depan. Pada saat inilah terjadi titik kejenuhan, karena momen ini adalah panggung pemutaran slideshow foto bukan panggung presentasi lisan. Misbar biarkanlah misbar, penonton butuh dipuaskan dahulu keinginannya untuk "nonton" baru proses "dengar".

4/
"Nek lihat foto Aji nang buku nggak serem, lebih serem lihat slideshownya" begitu kata istriku sambil pukul-pukul manja pundakku. Komentar seperti ini nampak biasa, namun memiliki arti yang luar biasa. Bahwasanya media untuk menampilkan foto berdampak pada efek dari foto tersebut. Dalam slideshow Aji, makna konotasi pada foto burung-burung  menjadi lebih menyeramkan karena irama musik yang mengiringinya. Artinya multimedia memungkinkan pengkarya untuk membuat fotonya "berbunyi" dengan cara yang berbeda. Nah ini bisa menjadi pembelajaran bahwasanya foto itu tidak berhenti di foto. Mediumnya pun juga harus diperhitungkan. Kalau fotografer wire pasti sudah tahu tentang hal ini, mana yang untuk print mana yang untuk online mana yang untuk galeri, karena Paman Marshal McLuhan dahulu pernah menyerukan "the medium is the message".

5/
"Suarane ga patio jelas nang mburi". Keluh salah satu penonton yang sering menjadi pembicara fotografi nasional. Konsekuensi dari slideshow adalah kualitas suara yang memadai. Karya multimedia menuntut hubungan baik antara suara dan gambar. Walaupun demikian, salut kepada panitia yang sudah menyiapkan berbagai peralatan cadangan. Pada akhirnya suara bisa terdengar di bagian belakang panggung misbar.

6/
Secara keseluruhan, acara ini sangat positif dan HARUS diadakan lagi di kota Malang yang semakin ramai ini. Mengapa HARUS? Karena acara ini bisa dijadikan salah satu media pembelajaran rekan-rekan pecinta karya visual. Kami, para penonton setidaknya berusaha membaca dan memaknai setiap karya. HARUS, karena acara ini bisa menjadi "jujukan" atau tujuan bagi pengkarya yang ingin karyanya ditampilkan di ruang publik, modelnya kayak open call, atau open submition gitu, kan bangga nanti peserta yang terpilih untuk di slideshow kan. HARUS, karena Local Artist ini akan mengajarkan budaya berkarya, budaya berani tampil walau hanya punya karya seupil. HARUS, karena acara ini berpotensi menjadi iconic.

Acara seperti ini mengingatkan saya saat aktif di mamipo atau Malang Meeting Point. Saya paham betul bagaimana rasanya menyiapkan sebuah acara untuk publik, dan malam itu saya datang sebagai penonton. Datang, menyapa, ngobrol dengan teman-teman, lalu pulang. Oooooohhh sungguh wenak ternyata menjadi penonton. Dalam perjalanan pulang, saya membayangkan panitia masih sibuk beres-beres, berbincang dengan pengunjung yang tidak beranjak pulang, lalu harus pamitan dengan warga lokal. Sungguh, sebenarnya penyelenggara acara seperti ini adalah manusia-manusia yang baik hati, berjiwa sosial, suka berbagi. Semangat untuk acara Local Artist selanjutnya.


Malang, 5 November 2017
Salam Lokal,

R



Komentar