Etika Fotografis dalam Polemik Lomba Foto HIPA



Polemik di dalam lomba fotografi internasional kembali terjadi. Tahun ini HIPA memenangkan foto karya Edwin Ong Kee Wee untuk kategori Grand Prize. Foto tersebut membekukan momentum seorang ibu yang menggendong kedua anaknya. Makna yang diinginkan Edwin tentunya untuk memenuhi tema besar yang diusung oleh komite HIPA, yaitu Hope. Gestur, pakaian, ekspresi, suasana dan teknis fotografi yang dipakai oleh Edwin akan mengerucut pada makna adanya sebuah harapan. Juri pun terpikat oleh bahasa visual yang disajikan oleh fotografer Malaysia ini dan hadiahnya pun bukan main besarnya, yaitu $120.000.

Namun keindahan, kedalaman, besarnya makna harapan dalam foto ini menjadi polemik ketika diketahui foto tersebut adalah hasil dari kegiatan hunting bersama atau popular dengan istilah photo tour, yang diikuti sekelompok fotografer dari berbagai negara. Di grup-grup wa dan social media muncul bukti otentik berupa foto dyptich foto hasil jepretan Edwin dan Foto suasana pemotretan yang melibatkan 10 fotografer. Diskusi publik pun bermunculan, saling sindir pun bertebaran. Namun penulis menggarisbawahi berbagai komentar dari kalangan jurnalis. Fotografer Associate Press (AP) di Bangladesh, M. Ahad, mempermasalahkan banyaknya turis-turis dari Malaysia. Di tahun 2018, Ahad merekam perilaku turis Malaysia yang melakukan staging/mengarahkan warga lokal untuk berdoa pada posisi yang tidak masuk akal, yaitu seorang warga lokal mengeluarkan anggota tubuhnya (setengah badan) dari jendela kereta api dan menengadahkan tangan berpose berdoa. Ajaibnya foto tersebut memenangkan sebuah kontes foto jurnalistik di Bangladesh.

Jika terkait dengan emblem “jurnalistik” maka kejadian di Bangladesh setahun yang lalu memang tidak pada jalurnya. Namun polemik pada lomba foto HIPA tidak berada pada ranah jurnalistik. Yang perlu menjadi catatan adalah HIPA sejatinya bukan murni kontes foto jurnalistik yang mengedepankan realitas, fakta, etika, rasa dan cerita. Dalam keterangan resmi di website HIPA, dijelaskan bahwa ‘Hope’ is an instinctive human emotion that helps push us towards positivity and optimism. Tidak ada ketentuan yang secara spesifik menyatakan mengharamkan manipulasi momentum atau staging. Dalam konteks regulasi, maka HIPA sebenarnya tidak bermasalah. Yang menjadi masalah sejatinya adalah diri kita sebagai fotografer. Kerap sekali demi menghasilkan kesempurnaan momentum untuk sebuah kompetisi, maka stagging pun akan dilakukan untuk melahirkan makna yang luar biasa. Hal ini dirasa wajar karena kreatifitas konsep biasanya berbuah visualisasi yang unik.

Foto Edwin yang menjadi polemik ini sebenarnya sangat menarik untuk “dibaca”. Membaca sebuah foto tentu saja perlu berbagai perspektif untuk menguraikan denotatum atau kenyataan dalam sebuah foto. Ketika perspektif pandang diubah menjadi kritis, maka memandang realitas bisa bersifat dinamis, bukan dikotomis. Esai-esai karya Roland Barthes menguraikan bahwa realitas dalam sebuah citra berada di tiga ranah, yaitu operator (fotografer), spectator (sang pemirsa) dan spectrum (sang subjek dalam foto).

Kita baca terlebih dahulu dari ranah spectrum. Foto Edwin menggambarkan seorang Ibu berpakaian lusuh, wajah kusam, serta dahinya berkerut memandang nun jauh dengan posisi mulut tertutup seolah ingin mengawali sebuah percakapan. Ibu tersebut memeluk anaknya yang sedang digendong depan. Wajah sang anak pun terlihat lusuh, menatap pula nun jauh sembari mengisap jempol. Di punggung sang Ibu, ada sang bayi yang menampakkan tangan kecil mungilnya ditengah lilitan kain khas sebuah negeri. Berlatar hutan, mereka pun diselimuti awan mendung sehingga aspek emosional pun muncul dan mendukung. Secara teknis, mereka bertiga nampak dipotret dengan lensa tele dan jaraknya pun dari jauh. Namun mereka terbaca sama sekali tidak nampak seperti rapuh karena mereka sepertinya menatap harapan di posisi nun jauh.

Dari ranah operator, Edwin merupakan seorang antusias fotografi Malaysia yang mengikuti acara photo tour di Vietnam. Tentu sebagai seorang yang hobi fotografi, jauh-jauh hunting di negara lain tentu harus pulang dengan membawa foto yang sepadan.

Dari ranah spectator, dalam kasus ini adalah juri HIPA, memandang bahwa foto ini layak memenangkan grand prize karena menggambarkan unsur kemanusiaan yang kuat. Hal ini direpresentasikan oleh sang spectrum, yaitu Ibu yang membawa dan menjaga harapan kepada kedua anaknya. Jelas juri memiliki pertimbangan tersendiri dan itu adalah kewenangan dewan juri untuk memenangkan sebuah foto tanpa memperhitungkan latar belakang proses lahirnya sebuah foto.

Perihal Edwin memenangkan grand prize HIPA dikarenakan adanya kesamaan proses pembacaan realitas yang ada di spectrum oleh spectator.

Namun, yang perlu digarisbawahi dari pemikiran Barthes adalah kehadiran etika pada tiga ranah tersebut. Yang dilakukan Edwin meninggalkan residu etika pada spectrum. Pertanyakan di hati anda, apakah etis menyandang status pemenang sebuah lomba foto, sedangkan sang spectrum sejatinya tidak tahu apapun terkait hasil salinan citra dwi matranya. Sang Ibu dan kedua anaknya sudah terlanjur menjadi sebuah salinan, copian yang dimiliki oleh Edwin. Representasi spectrum berada dibawah kendali penuh sang operator. Pertanyakan pula di hati anda, persinggungan tipis antara eksplorasi dan eksploitasi kemiskinan dengan medium fotografi justru membuat kaya orang-orang yang sudah kaya. Sejatinya etika harus ada dan mengakar kuat pada level hubungan antara operator dan spectrum. Jika mereka tidak memiliki hubungan, maka yang terjadi adalah ketidak-kuasaan dan ketidak-berdayaan spectrum mengendalikan representasinya. Di sisi lain, sang operator dengan semena-mena bisa melakukan apapun terhadap subjek yang telah difoto tanpa harus tahu nasib dari yang difoto. Dengan Bahasa gamblang, fotografer mendapat berkah dari nasib sang subjek. Oleh Tubagus Svarajati, hubungan tidak seimbang ini disebut sebagai proses objektivasi. Fotografer meng”OBJEK”kan manusia lain demi kepentingan pribadi. Tidak perlu mencari dikotomi benar-salah ataupun baik-buruk, namun derajat etika ini memang menjadi permasalahan di era fotografi digital. Foto pada dasarnya sanggup berbahasa, namun sejatinya andalah pengendali etika.

Salam,
Radityo Widiatmojo

Komentar