Telah terlalu banyak sejarah yang menunjukkan bahwa fotografi bisa diperalat untuk kepentingan tertentu. Mengapa saya katakan sejarah? karena itu terjadi di masa lalu. Masa lalu adalah catatan, kenangan, rekaman, kutipan dari cerita kehidupan manusia, baik itu yang gemerlap ataupun yang gelap. Bagaikan sebuah sulap, sejarah gelap akan tetap terlelap jika tidak ada yang mau membuka tirai yang tertutup kabut pekat.
Perkenalan saya dengan fotografi sudah lama, mungkin hampir separuh usia saya, walau saya masih muda. Dari rentang waktu itulah saya dibombardir oleh mimpi-mimpi fotografis, baik secara idealis ataupun praktis. Ilmu fotografi pun berusaha saya dapat dengan mandiri, mulai dari cetak dan cuci manual film BW sampai digital imaging, semua genre mulai dari landscape sampai portrait. Toh semuanya tidak cukup membuat mimpi saya menjadi kenyataan, bahkan ada yang bilang bahwa saya adalah seorang "mantan" fotografer. Ya memang saya akui hal tersebut dengan lapang dada, mungkin hal itu yang akan menjadi sejarah fotografis saya. Namun satu hal yang selalu membuat saya gelisah adalah sebuah sisi absurd fotografi itu sendiri, terutama jika konteks historisnya ada di Indonesia, dan saya pernah berada dalam perlintasan tersebut.
Sisi tersebut saya artikan sebagai sisi gelap. Bukan sesat, namun mungkin nikmat.
Saya pernah berada disisi terang dari fotografi. Sisi terang tersebut menempatkan fotografi sebagai sebuah disiplin yang membawa nilai-nilai kebenaran dan bermanfaat bagi umat manusia. Bersifat terang karena diibaratkan bisa menghentikan sebuah perang. Berderang karena memuat konten yang edukatif, meski sedikit normatif, namun setidaknya itulah sebenarnya fungsi fotografi. Dahulu konon fotografi menjadi sebuah kebenaran yang objektif, sampai-sampai Walter Benjamin (dalam esai berjudul A Short History of Photography 1931) menyatakan bahwa orang-orang lama itu takut melihat foto yang ada unsur "manusia yang menatap ke pemirsa", karena dianggap representasi yang sungguh nyata dari manusia. Dahulu, fotografi sangat tulus membekukan sejarah, sangat peka menangkap realita dengan detail yang sempurna. Dahulu, fotografi prosesnya ribet minta ampun, sampai-sampai sang fotografer tidak diberi ampun dalam setiap prosesnya. Mulai dari kepemilikan kamera, pengambilan momen, sampai pasca pemotretan. Kerumitan tersebut seolah selalu menerangi fotografi dari segala mara-bahaya-terhadapnya.
Di lain pihak, terdapat sisi gelap dari setiap fenomena di dunia ini. Fotografi pun tak lepas dari sisi yang mendewasakan. Sisi ini lebih mengandalkan aspek humanisme, rasionalitas, silogisme dari fotografer itu sendiri. Dan saya pernah berada di sisi gelap ini, walau bukan pelaku namun saya cukup tahu detail karena saya bekerja sebagai asisten lighting di sebuah sesi pemotretan model beberapa tahun silam, apalagi private session. Ketika itu terlontar kalimat ajakan kurang lebih seperti ini "Hei Wid, kamu ada waktu kosong Sabtu besok? Hunting model yuk... Bantuin saya setting lighting ya.." Dengan enteng saya jawab "Nggih mas.."
Menjadi asisten lighting itu berat tugasnya, setting lampu di ruang yang sempit, memegangi reflektor dari berbagai arah, serta menahan nafas saat sang model mulai terlepas pakaian luarnya. Begitu tak mengenakan beliau tak mengenakan sehelai benangpun, jangankan nafas, kentutpun saya tahan. Dan keringat dingin mulai menetes dari kening (lelah campur grogi), jantung mulai berdetak kencang, pokoknya situasi dalam diri saya waktu itu dag dig dug luar dalam.
Saya masih lugu luar dalam, menjadi asisten hanya sebagai pendapatan tambahan, namun pemandangan di hadapan saya tidaklah membuat saya senang, saya hanya terjebak pada sebuah peristiwa yang akan menjadi cerita sejarah fotografis saya kelak. Namun saya justru berpikir apakah pak fotografer bergejolak ya? Saya rasa tidak, karena dia begitu enak mengarahkan bahasa tubuh beliau, dan beliaunya juga mau-mau saja diatur posenya. Apakah interaksi yang demikian ini benar adanya? Apakah faktor kuasa berupa mata uang negeri tetangga menjadi alasan kuat interaksi tersebut? Saya tidak tahu siapa yang dibayar dan membayar. Dalam bahasanya Svarajati, interaksi tersebut adalah hubungan relasional Tuan-Budak karena sang model hanya menuruti semua keputusan dari pak fotografer. Dialog mereka pun terkesan otoriter, perintah adalah perintah yang harus ditaati. Mau ngangkang, njentit, nungging, terlentang, tersungkur semua ditaati beliau. Adakah yang salah disini? Saya tidak bisa melakukan apapun selain (sekali lagi) menahan kentut. Kentutlah yang membuat saya berpikir secara rasional, logis dan ekonomis. Jika desis suara kentut saya terdengar oleh mereka berdua, abis sudah reputasi saya sebagai asisten yang handal.
Break adalah waktu yang tepat untuk memuaskan hasrat saya. Cuci muka biar terlihat segar (lirik ERK), lalu kembalilah saya ke pekerjaan ini. Namun bukan kerja lagi setelah break, dengan suara lirik pak fotografer berkata "ini saatnya saya bekerja sendirian, terima kasih ya bantuannya..." Saya dengan lugu berkata "Nggih mas.." Lantas saya bergegas mengemasi lighting ke dalam koper-koper bermerk terkenal, cek dan ricek alat yang keluar tas lalu menata lagi dan menutup koper dengan rapat. Tak lupa kabel dan light stand saya beresin secepat kilat. Keluarlah saya dari kamar hotel. Di parkiran saya baru tersadar bahwa jam tangan saya tertinggal, kemungkinan di kamar mandi. Dengan segera, saya naik lagi ke kamar di lantai 2, namun urung mengetuk pintu karena sungkan karena mereka sudah berada dalam kondisi private, terlepas dari apa yang akan mereka lakukan di kamar.
Inikah sisi gelap dari fotografi Indonesia yang di bicarakan oleh teman-teman saya? Sehatkah fotografi dengan realitas seperti itu? Bergesernya makna fotografi, telah menggeser pula kemanusiaan manusia. Saya rasa Fox Henry Talbot juga tidak akan memperkirakan bahwa fotografi akan seperti ini, terutama di era informasi ini. Dengan faktor kuasa berupa mata uang negeri tetangga, saya melihat sebuah sisi yang gelap (menurut saya, mungkin menurut mereka tidak). Saya jadi mengerti sekarang, ketika sebuah foto model yang "hot" diposting di komunitas fotografer di facebook selalu banyak fotografer "instan" meminta nomer telpon sang model atau menanyakan siapakah modelnya.
Fotografi telah dikomodifikasi atas berbagai nama, atas nama belajar, atas nama uang, atas nama kuasa, atas nama kenikmatan sesaat, atas nama estetika, dan atas nama cinta serta atas nama seni. Yang mengkomodifikasi adalah generasi alay yang tidak tahu asal muasal fotografi, yang tidak pernah belajar sejarah fotografi dunia bahkan nasional pun belum tentu mereka tahu. Generasi Z inilah yang kurang piknik bersama sahabat-sahabatnya, Generasi yang hanya terkungkung pada linimasa media sosial, Generasi yang tidak pernah merasakan indahnya militansi, Generasi naas akibat rotasi jaman yang membuat mereka bagai mie instan, enak, cepat dan nikmat, Generasi miskin idealisme karena mereka sudah merasa idealis pada tataran tingkat dewa padahal tidak tahu apa-apa, Generasi miris karena diterpa ratusan jam tayangan televisi tak ada mutu ala sinetron. Lantas generasi yang sudah mempunyai kuasa menggunakan kuasanya untuk melenggangkan hal-hal yang berbau kenikmatan, sensualitas, dan seksisme. Hak mereka memang, karena mereka kaum kapitalis modern.
Pengalaman saya diatas tidaklah lahir ceprot begitu saja. Saya yakin adanya hubungan historis antara literasi visual, gaya hidup, konsumtifisme, narsisme, eksistensisme, yang menyebabkan fotografi portrait terdegradasi menjadi genre foto model. Inilah ajaibnya Indonesia, sebuah profesi bisa menjadi sebuah genre. Mengapa genre? Foto model menjadi barang remeh temeh, semua orang melakukannya, tanpa disadasi menyakiti perasaan kaum feminis, kaum heterois. Berbagai komunitas di Indonesia melakukan moda fotografis yang sama, yaitu hunting model. Bahkan dibuat event nasional. Secara serentak, tanpa disadari moda belajar fotografi adalah foto model. Salahkah? Saya tidak bicara salah dan benar, namun bicara sebuah sisi dari kondisi fotografi di Indonesia, sebuah sisi yang turut menentukan masa depan fotografi Indonesia.
Jika suatu saat anda-anda di generasi Z menjadi orang tua dan mempunyai anak perempuan, dan anda mengetahui bahwa anak anda menjadi model dadakan atas permintaan temannya, lantas foto dengan pose dan pakaian minim tayang di sosial media, lantas anda membaca komen-komen yang tak pantas ditujukan kepada anak perempuan anda, lantas anak perempuan anda tidak tahu bahwa fotonya telah tayang di sosial media, Apa yang akan anda lakukan? Hah?
Salam Terang,
Radityo Widiatmojo
note: jam tangan saya tidak pernah kembali.
Komentar