Salah satu saran yang banyak disarankan fotografer hebat nan berpengalaman adalah "follow your passion"... Bahkan kalimat tersebut berlaku di bidang-bidang lain selain fotografi. Memang mengikuti kata hati bisa berdampak besar terhadap hidup kita, karena biasanya dikaitkan dengan pilihan-pilihan sulit dalam hidup kan. Namun apa jadinya bila jika anda membaca sebuah kalimat "PASSION SAYA DI FOTO MODEL..."?
2 tahun berada di tengah-tengah industri fotografi Sydney membuat saya lebih terbuka atas apa yang terjadi dalam dunia edukasi fotografi indonesia. Saya sempat bekerja sebagai asisten fotografer Fine Art, Tania Browitt. Beliau adalah seorang yang penuh dengan inspirasi, semangat dan ide cemerlang dalam pembuatan visual yang memiliki konsep dan nilai estetika yang tinggi. Beliau sangat menghargai para "Model"nya, baik dalam kehidupan pribadi ataupun saat on location. Hubungannya bisa saya gambarkan sebagai sebuah persahabatan 2 profesi profesional (fotografer dan model), pertemanan 2 manusia penuh talenta, percampuran 2 manusia dengan kutub yang berbeda. Disatukan dalam sebuah kertas berisi coretan-coretan ide brilian. Tugas saya adalah memfasilitasi bagaimana visual tersebut hadir dengan lighting yang sedemikian rupa.
Pengalaman di Sydney membuka mata saya, bahwa rekan-rekan yang saya kenal di sana tidak pernah melontarkan profesinya sebagai fotografer model, atau memiliki hasrat di foto model. Yang ada mereka memiliki hasrat, semangat yang kuat dalam membuat foto portrait, siapapun yang di foto. Jika bergerak di bidang wedding, prewed, foto keluarga, foto bayi yang baru lahir, maka mereka menamakan genre tersebut kedalam "Domestic Portrait". Domestic portrait adalah area dimana yang membayar fotografer adalah individu, bukan sebuah perusahaan. Sebagai contoh, teman saya yang bernama Emily Willcockson adalah seorang fotografer portrait profesional. Dia motret model, tapi modelnya adalah bayi-bayi lucu serta keluarga-keluarga yang sadar akan arti sebuah foto. Coba saja tengok pagenya di FB. Atau mampir ke websitenya. Dan dia masih berusia dibawah 25 tahun.
Ketika berurusan dengan industri fashion, fotografer di Sydney otomatis melibatkan banyak vendor dan perusahaan. Maka secara profesional para fotografernya ada di area "Commercial". Profesi MODEL hanya salah satu dari berbagai profesional yang ada di area tersebut, sebut saja make up artist, wardrobe, pengarah gaya, penyedia properti, jasa cetak foto (direct client prove) on location, asisten lighting (seperti saya). Khusus pada posisi saya sebagai asisten, saya senang bisa dikatakan sebagai seorang profesional karena semua orang di industri komersial sangat menghargai profesi seseorang. Dan yang membuat saya kagum adalah mereka ini merupakan orang-orang yang bekerja karena Passion mereka. Selain karena bayarannya lumayan, mereka juga kompeten karena sudah lama berkecimpung didunia komersial.
Industri fotografi di Sydney didukung oleh berbagai elemen vital, salah satunya adalah edukasi. Sistem edukasi fotografi di CATC Sydney melahirkan generasi fotografi yang kompeten sesuai dengan passionnya masing-masing, yang jelas tidak ada yang passion di foto model. Komunitas pun demikian. Sydney memiliki berbagai komunitas dari berbagai genre fotografi. Banyak pula genre berkaitan dengan kajian budaya visual, seperti klub semiotika. Kualitas edukasi fotografi bukanlah satu-satunya ujung tombak dalam kemajuan fotografi disana, namun kebiasaan melakukan sebuah apresiasi terhadap sebuah seni membuat fotografi di Sydney jauh lebih maju (saya pernah menuliskan perihal Apresiasi). Foto yang memuat seorang Model didalamnya akan dihargai dengan cara diapresiasi. Profesi Model pun sangat dihargai dan dikagumi. Contoh perilaku industri fotografi di Sydney ini merupakan gambaran umum bagaimana literasi visual berdampak pada kehidupan sosial, terutama yang berprofesi sebagai seorang model.
Pernyataan "PASSION SAYA DI FOTO MODEL.." memang syah syah saja dan tidak salah. Namun ini menunjukkan barometer literasi visual fotografi di tanah air. Di Indonesia banyak sekali bertebaran klub foto yang mengadakan "hunting model". 1 model bisa digruduk 10-30 orang. Saya tidak munafik, saya dulu juga seperti itu, pernah mengalami hal demikian, pernah merasakan euforia motret model ditengah hiruk pikuk kerumunan fotografer yang masih dalam tahap belajar. Sekali lagi saya pernah merasakannya. Asyemmmm. Asyemmm karena sadar bahwa literasi visual saya saat itu begitu dangkal. Hasyem karena tidak seharusnya memperlakukan seorang model seperti itu. Tidak terjadi komunikasi antara model dan fotografer kan. Lha wong sang model dipanggil, "mbak'e noleh sini.." "mbak, mbak noleh atas mbak.." "Non, kiri kiri Non.." "Oke mbak, sekarang noleh ke saya ya mbak Manis..." Jika saya jadi modelnya ya amsyong lah. Model juga manusia bung, janganlah jadikan beliau sebuah objek yang dinikmati secara fotografis dan masif. Berkaitan dengan literasi visual, nampaknya literasi visual dalam satu dekade ini "masih" lebih banyak berseliweran foto-foto model dalam lini masa sosial media mereka, sehingga memaksa seseorang untuk melontarkan pernyataan "PASSION SAYA DI FOTO MODEL" secara sadar dan bangga.
Hunting model bagi saya adalah aktifitas untuk memenuhi hasrat indrawi para penghobi fotografi dan bukan sebagai ajang edukasi yang pas. Outputnya pasti jelas di upload di internet, yang berarti menambah kontribusi literasi visual foto model, emboh model opo. Jika mengatas-namakan "Sama-sama Belajar" antara model dan fotografer, mengapa tidak dikemas dalam format yang lebih edukatif dan interaktif? Satu mentor, satu model, dan maksimal 4 fotografer-lah. Jangan satu model dihajar habis orang 10 lebih. Di Sydney memang ada model motret grudukan seperti ini, tapi bukan model. Istilah motret bareng itu "Photo Walk", lebih ke arah dokumenter, landscape, street atau arsitektur. Kalau mau bikin "portrait" seorang model, teman-teman saya cenderung di studio untuk belajarnya, dengan format 1 model untuk 1 fotografer dan 2 asisten (1 model 1 fotografer). Begitu sang model dan fotografer sudah pede dan "mengenal" karakter masing-masing, maka mereka akan janjian lagi untuk pemotretan outdoor. Moda seperti itu jauh lebih efektif jika mengatas-namakan "Sama-sama Belajar". Bagaimana dengan lomba motret model yang rame-rame juga? Kalau itu bisa diapresiasi karena memang model profesional di bayar dengan profesional pula.
"Lantas apa yang bikin dilematis? Kan suka-suka saya ingin motret apa. Haknya saya kan. Kamera-kamera saya sendiri. Foto-foto saya sendiri. Facebook-facebook saya sendiri. Apa hak anda cawe-cawe passion saya?" Mungkin lontaran pertanyaan bernada offensive seperti ini akan memelihara jenis pembelajaran (motret model grudukan) tetap menjadi primadona. Seakan foto Model dan motret grudukan adalah dua sejoli yang tidak bisa dilepas.
Lantas?
Meskipun motretnya tidak grudukan, namun sosial media juga mengundang dan menggelitik fotografer untuk menggunggah foto Model di komunitas yang banyak penggemar foto Model. Lantas, sosial medialah yang menjadi tujuan akhir. Bukan rahasia umumlah jika upload foto di sosmed itu kabur batasannya antara "sharing", "minta saran" atau "pamer". Coba saja lihat berbagai group fotografi di FB, banyak sekali saya ditemui foto-foto (mohon maaf) tidak seronok/vulgar, tidak pantas dan berujung pada pamer kebinalan dari mata fotografer. Lebih binal lagi yang komentar, aduhhhhh benar-benar merusak komunitas fotografi di Indonesia deh.
"Lantas apa yang bikin dilematis? Kan suka-suka saya ingin motret apa. Haknya saya kan. Kamera-kamera saya sendiri. Foto-foto saya sendiri. Facebook-facebook saya sendiri. Apa hak anda cawe-cawe passion saya?" Mungkin lontaran pertanyaan bernada offensive seperti ini akan memelihara jenis pembelajaran (motret model grudukan) tetap menjadi primadona. Seakan foto Model dan motret grudukan adalah dua sejoli yang tidak bisa dilepas.
Lantas?
Meskipun motretnya tidak grudukan, namun sosial media juga mengundang dan menggelitik fotografer untuk menggunggah foto Model di komunitas yang banyak penggemar foto Model. Lantas, sosial medialah yang menjadi tujuan akhir. Bukan rahasia umumlah jika upload foto di sosmed itu kabur batasannya antara "sharing", "minta saran" atau "pamer". Coba saja lihat berbagai group fotografi di FB, banyak sekali saya ditemui foto-foto (mohon maaf) tidak seronok/vulgar, tidak pantas dan berujung pada pamer kebinalan dari mata fotografer. Lebih binal lagi yang komentar, aduhhhhh benar-benar merusak komunitas fotografi di Indonesia deh.
Lantas (lagi) ada rekan saya dari negara tetangga yang bertanya "Lha piye je solusine?" Ya lha yo modyar kalau saya disuruh membuat solusinya, itu hak mereka atas bagaimana menggunakan karunia terindah dari Sang Pencipta, berupa mata. Gunakanlah mata fotografis anda dengan bijaksana, janganlah menindas tubuh atas nama "belajar" apalagi atas nama cinta.
Lantas (sekali lagi), menurut hemat saya: Fotografi akan lebih bermakna jika digunakan sebagai medium bercerita bukan sebagai pengumbar hawa.
Salam lantas,
Radityo Widiatmojo
Komentar